Tragedi Syarif


Beneran ini soal tragedi Syarif, bukan syaraf.

Gara-gara Syarif lah terjadi hal memalukan yang tak pernah saya lupakan hingga kini. Padahal kejadiannya sudah amat lama berselang. Sudah lebih dari 25 tahun yang lalu malah.

Ini bukan fiksi. Asli.

Menjadi seorang gadis remaja yang baru masuk SMA adalah hal yang paling menyenangkan saat itu. Sejak masih menggunakan seragam putih biru, selalu saja berangan segera bisa mengenakan putih abu yang keren. Padahal ya kalau sekarang dipikir-pikir, apa kerennya ya? Hihihiii…

Salah satu hal yang paling menyenangkan menjadi anak SMA adalah bisa pulang dan pergi naik angkot. What? Naik angkot itu menyenangkan?

Bagi bocah umur 14 tahun yang kemana-mana hanya tau naik sepeda, tentu saja naik angkot menjadi hal baru yang patut disyukuri. Jika biasanya bersepeda hanya bisa serius memandang jalanan dengan penuh konsentrasi agar nggak nabrak sana-sini, maka dengan naik angkot jadi bisa melihat kemana-mana. Mengamati anak kecil yang merengek kegerahan di dalam angkot. Menatap wajah-wajah penuh ketegangan yang saban kali melirik jam tangan. Melihat berbagai macam kendaraan berseliweran di kiri kanan angkot. Sederhana namun menyenangkan to?

Dan sekali lagi ini gara-gara Syarif.

Jadi ceritanya ada salah satu teman sekelas di SMP dulu yang namanya Syarif. Di dalam angkot yang saya naiki di hari-hari pertama masuk SMA, saya melihat dia duduk di bangku depan samping supir. Ooohh.. jadi dia masuk SMA yang sama denganku juga ternyata. Cuma yang bikin jengkel itu ya, kenapa dia tadi tidak menyapaku saat masuk ke angkot ini.

Ah, palingan juga dia nggak liat tadi ya. Dia kan duduk di depan, sedangkan saya berada di belakang bersama para penumpang lainnya. Jadi terbetik niat untuk mengagetkannya nanti ah.

Loh… kok dia turun di depan jalan yang biasa kulewati ya? Perasaan waktu SMP dulu dia tidak berada satu rute deh. Dengan santainya dia berlenggang begitu saja di depan saya setelah turun angkot.

Dih, ini anak, beneran lupa sama temannya atau bagaimana. Akhirnya saya kagetkan saja dia dengan menepuk punggungnya sekeras-kerasnya.

Buuughh… “Heh…” Sembari menepuk punggungnya saya gertak dia agar dia tau saya bakal jalan bareng dengan dia setelah turun dari angkot itu.

Eh, begitu dia nengok alangkah kagetnya saya. Ternyata dia hanya mirip dengan Syarif. Dia bukan Syarif. Alamaaakkk… Muka langsung deh pasang lempeng dan jalan ngeloyor saja tanpa bisa memandang dia lagi.

Semua gara-gara Syarif. Gara-gara dia kenikmatan naik angkot jadi hilang. Setiap kali mau naik angkot untuk pulang, saya terpaksa tengok kiri kanan memastikan Syarif gadungan tadi tidak naik di angkot yang sama dengan saya. Bocah lelaki mirip Syarif itu sungguh membuat saya parno.

Published by

Uniek Kaswarganti

I'm a proud mom of two lovely kids, who prefer to read and write in my spare time. I like to write everything in my daily activities, give simple comments on products I wore, make reviews of books, films, and some more things interest me. It's open for everybody to contact me for any kind of job review or getting a testimoni of their products, do not hesitate ;)

One thought on “Tragedi Syarif”

Monggo, ditunggu komennya yaaa...